Mengapa Isu Agraria adalah Isu Kekerasan Terhadap Perempuan?
Dalam momentum 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), kita sering berfokus pada kekerasan domestik atau seksual. Namun, saya ingin mengajak kita melihat akar material dari kekerasan tersebut: pemiskinan struktural.Â
karena bagi perempuan pedesaan, tani, adat, dan tanah bukan sekadar aset. Ia adalah alat produksi, ruang hidup, dan sumber kedaulatan. Ketika tanah dirampas oleh negara, korporasi, modal ekstraktif, atau feodalisme lokal yang terpukul pertama bukan laki-laki, tapi perempuan. Tanpa tanah, perempuan kehilangan kendali atas penghidupan, membuat mereka lebih rentan pada eksploitasi kerja murah, migrasi paksa, hingga kekerasan domestik. Pemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling brutal.
Kilas Balik Sejarah: Perempuan di Garis Depan UUPA 1960
Sejarah mencatat bahwa perempuan bukan sekadar "pendamping" suami dalam perjuangan tani, melainkan aktor intelektual dan penggerak utama lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. kita bisa melihat dan membaca sejarah tentang Peran Gerwani dan BTI (Barisan Tani Indonesia)
Organisasi perempuan terbesar saat itu, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), memiliki analisis tajam bahwa musuh utama perempuan desa adalah "Sisa-sisa Feodalisme".
Gerwani dan BTI mengorganisir buruh tani perempuan untuk menuntut pembagian hasil panen yang adil dan menolak kerja paksa feodal.Â
mereka tidak hanya mengajarkan baca-tulis (pemberantasan buta huruf), tetapi juga kesadaran kelas bahwa kemiskinan perempuan disebabkan oleh struktur penguasaan tanah yang timpang.
UUPA 1960 adalah salah satu produk hukum paling progresif di dunia pada masanya karena secara eksplisit mengakui hak individu perempuan atas tanah.
Pasal 9 ayat 2 UUPA: Menjamin bahwa tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya.
Ini adalah dobrakan besar terhadap hukum adat patriarkal atau hukum kolonial yang seringkali tidak menganggap perempuan sebagai subjek hukum yang bisa memiliki tanah sendiri.
 "Tanah untuk Penggarap, Bukan Tuan Tanah"
perjuangan RUU Agraria (yang pro-rakyat) dilihat melalui irisan antara Penindasan Kelas dan Penindasan Gender.
1. Melawan Beban Ganda (Double Burden)
Kapitalisme dan feodalisme memanfaatkan patriarki untuk mengeksploitasi perempuan. Perempuan tani sering bekerja di ladang (produksi) tetapi dianggap hanya "membantu suami", sekaligus menanggung beban kerja domestik (reproduksi) sendirian.
Reforma Agraria Sejati harus membebaskan perempuan dari ketergantungan ekonomi pada laki-laki (suami/ayah) maupun tuan tanah. Kepemilikan tanah di tangan perempuan adalah basis kemandirian ekonomi.
2. Tanah sebagai Alat Produksi vs. Komoditas
Tanah adalah barang dagangan (komoditas) untuk investasi. Ini memicu land grabbing (perampasan tanah) yang seringkali menggusur perempuan dari ruang hidupnya, memaksa mereka menjadi buruh migran murah.
Tanah mempunyai fungsi sosial. Tanah harus dimiliki oleh mereka yang menggarapnya (land to the tiller). Perjuangan perempuan mempertahankan tanah (seperti di Kendeng, Wadas, atau Urut Sewu hari ini) adalah wujud perlawanan kelas melawan akumulasi modal yang merusak alam dan manusia.
Kekerasan terhadap perempuan tidak akan hilang selama ketimpangan penguasaan sumber daya alam masih ada. Memperjuangkan Reforma Agraria yang berkeadilan gender adalah cara kita memutus rantai kekerasan tersebut.
Inggrid Nola (ketua Eksekutif-wilayah LMND DKI jakarta)Â